Pemikiran
atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan
sejarah manusia.Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai
konsep universal, namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh
karakteristik negara dan manusianya yang beragam.Hal ini dapat terjadi,
disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain, juga karena
adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia. Atas dasar itu, secara historis
dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara
hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah, negara hukum menurut konsep Eropa
Kontinental yang dinamakan rechsstaat,
negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule
of law), konsep socialist legality,
dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki
dinamika sejarahnya masing-masing.
Tahir
Azhary dalam bukunya Negara Hukum dikutip oleh Ridwan HR, yaitu secara
embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles,
ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat
di usia tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, Politeia dan
Politicos, belum muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan
bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik. Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas ketika
didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku
Politica.Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai
cikal-bakal pemikiran tentang Negara hukum.Aristotoles mengemukakan ide Negara Hukum
yang dikaitkannya dengan arti Negara yang dalam perumusannya masih terkait
kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam Negara bukanlah
manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik
buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang
bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila
keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara hukum”,
karena tujuan Negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas
keadilan. Dalam Negara seperti ini, keadilanlah yang memerintah dan harus
terjelma di dalam Negara, dan hukum berfungsi memberi kepada setiap apa yang
sebenarnya berhak ia terima.
Ide
negara hukum menurut Aristoteles ini, nampaknya sangat erat dengan “keadilan”,
bahkan suatu negara akan dikatakan sebagai negara hukum apabila suatu keadilan
telah tercapai. Konstruksi seperti ini mengarah pada bentuk Negara hukum dalam
arti “ethis” dan sempit, karena tujuan Negara semata-mata mencapai keadilan.
Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan teori-teori ethis, sebab
menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis
kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Menurut
Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan
konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang
berkonstitusi yaitu
1) Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan
umum.
2) Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi.
3) Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah
yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang
dilaksanakan pemerintahan yang berkuasa.
Dalam
kaitannya dengan konstitusi, Aristoteles mengatakan bahwa konstitusi merupakan
penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa yang dimaksudkan
dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat. Selain itu,
konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut
aturan-aturan tersebut.Konsep Negara Hukum yang dikembangkan oleh Plato dan
Aristoteles lahir beberapa puluh tahun sebelum masehi.
Pada
perkembangan berikutnya kelahiran konsep Negara hukum sesudah masehi didasarkan
pada sistem pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu, hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh beberapa ahli.
Machiavelli
(1469-1527) seorang sejarawan dan ahli Negara telah menulis bukunya yang
terkenal ”II Prinsipe (The Prince)” tahun 1513. Beliau hidup pada masa
intrik-intrik dan peperangan yang terus-menerus di Florence, dimana pada waktu
tata kehidupan berbangsa dan bernegara lebih mengutamakan kepentingan
Negara.Tata keamanan dan ketentraman, disamping keagungan Negara, harus
merupakan tujuan Negara, supaya Italia menjadi suatu Negara Nasional.Dalam
usaha untuk mewujudkan cita-cita itu raja harus merasa dirinya tidak terikat
oleh norma-norma agama atau pun norma-norma akhlak.Raja dianjurkan supaya
jangan berjuang dengan mentaati hukum, raja harus menggunakan kekuasaan dan
kekerasan seperti halnya juga binatang.Penguasa menurut beliau, yaitu pimpinan
Negara, haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil untuk mancari lubang
jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala.Demikianlah beberapa
anjuran Machiavelli kepada raja untuk menerapkan absolutisme dalam
Negara.Maksudnya agar Negara Italia menjadi Negara besar yang berkuasa.
Jean
Bodin juga menganjurkan absolutisme raja.Raja harus mempunyai hak mutlak
membuat undang-undang bagi rakyatnya yang diperintah. Akan tetapi berlawanan
dengan Machiavelli, ia mengatakan bahwa raja itu terikat dengan hukum alam.
Lebih lanjut beliau memandang kekuasan yang terpusat pada Negara yang makin
lama makin tegas tampak dalam bentuk kekuasaan raja.Karena itu disimpulkannya,
bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan yaitu kekuasaan raja
yang superior.
Thomas
Hobbes berpendapat bahwa manusia sebelum hidup dalam lingkungan masyarakat
bernegara, hidup dalam alam.Dalam keadaan alami itu manusia mempunyai hak alami
yang utama, yaitu hak utama mempertahankan diri sendiri.Dalam situasi demikian
itu manusia merupakan musuh bagi manusia lainnya dan siap saling menerka
seperti serigala, akibatnya ialah merajalelanya peperangan semuanya melawan
semuanya. Namun, dibimbing oleh akalnya manusia mengerti bahwa bila keadaan
yang demikian itu diteruskan, semuanya akan binasa. Oleh karena itu manusia
lalu bergabung memilih penguasa yang menjamin hukum malalui suatu perjanjian
sosial.Dalam teori Hobbes, “perjanjian masyarakat yang tidak dipakai untuk
membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang
disebabkan kepada raja”. Jadi raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat
melainkan ia memperoleh wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja
itu mutlak.
Inilah
beberapa ahli yang secara ekstrim menyatakan pendapat mereka untuk membenarkan
sistem pemerintahan yang bersifat absolut guna diterapkan dalam kehidupan
bernegara. Memang apabila ditelusuri lebih jauh pandangan ini, tentu kita akan
melihat bahwa konsepsi mereka dilatarbelakangi oleh adanya situasi Negara yang
buruk di masa mereka hidup. Sehingga bagi mereka Negara atau penguasa yang kuat
diperlukan untuk mengatasi peperangan yang terjadi waktu itu.
Perlawanan
terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan dengan
memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu sistem pemerintahan yang
berdasarkan konstitusi.Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja
saja, melainkan harus didasarkan pada hukum konstitusi.John Locke mengemukakan,
kekuasaan raja harus dibatasi oleh suatu “leges fundamentalis”. Namun perlu
dicatat bahwa perjuangan konstitusional yang membatasi kekuasaan raja banyak
dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, diantaranya:
1) Reformasi;
2) Renaissance;
3) Hukum
Kodrat;
4) Timbulnya
kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal(Aufklearung).
Seiring
dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir pula gagasan
atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh
pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya
absolutisme dan lahirnya Negara hukum.
Di
Inggris, sebenarnya perlawanan masyarakat terhadap Negara (Monarchi Absolutis),
telah lama berjalan sebelum John Locke mengarang bukunya, terjelma dalam
pertikaian terus menerus antara “King dan Parliament”, yang melahirkan
piagam-piagam dimana diakui hak-hak asasi bangsa Inggris, yaitu:
1. Magna
Charta (1215);
2. Petition
of Rights (1628);
3. Habeas
Corpus Act (1679);
4. Bill
of Rights (1689).
Dalam
hal ini, pada umumnya kemenangan ada di pihak masyarakat, monarki absolut tidak
dapat berkembang, sedangkan Parlemen langkah demi langkah membesarkan
pengaruhnya.
Di
Perancis, pelopornya antara lain
Montesquieu (1688-1775) dan J.J. Rousseau (1746-1827). Di Negara ini pun
Renaissance dan Reformasi berkembang dengan baik. Perjuangan hak-hak asasi
manusia di Perancis itu memuncak dalam revolusi Perancis pada tahun 1789, yang
berhasil menetapkan hak-hak asasi manusia dalam “Declarationdes Drots de
I’homme et du Citoyen”, yang pada tahun itu ditetapkan oleh “Assemblee
National” Perancis serta pada tahun berikutnya dimasukkan ke dalam
Constitution. Sedangkan di Amerika Serikat sebelumnya, yaitu pada tanggal 4
Juli 1776 sudah dirumuskan dalam “Declaration of Independent”.
Jadi
dengan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia maka kekuasaan absolut
dari raja lama-kelamaan semakin susut dan bersama-sama dengan itu kebutuhan
akan Negara Hukum makin mantap.
Budiono
mengatakan sebagai berikut: “pada babak sejarah sekarang, sukar untuk
membayangkan Negara tidak sebagai Negara Hukum. Setiap Negara yang tidak mau
dikucilkan dari pergaulan masyarakat internasional menjelang abad XXI paling
sedikit secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai Negara hukum. Dalam
Negara hukum, hukum menajadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama
sebagai kesepakatan politik.Hukum juga menjadi aturan permainan untuk
menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga perselisihan politik
dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi.Dengan demikian, hukum tidak
mengabdi kepada kepentingan politik sektarian dan primordial melainkan kepada
cita-cita politik dalam kerangka kenegaraan”.
Lebih
lanjut para ahli yang menganut faham kedaulatan berpendapat bahwa hukum
bukanlah semata-mata apa yang secara formal diundangkan oleh badan legislatif
suatu Negara. Hukum (dan kedaulatan sebagai aspeknya) bersumberkan perasaan
hukum anggota-anggota masyarakat.Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan
pencipta hukum.Negara hanya memberi bentuk pada perasaan ini. Hanya apa yang
sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar merupakan hukum.
Hugo
Krabbe sebagai salah seorang ahli yang mempelopori aliran ini berpendapat bahwa
Negara seharusnya Negara hukum (rechtsstaat) dan setiap tindakan Negara harus
didasarkan pada hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan pada hukum.Kalau
diperhatikan lebih jauh ke belakang, konsep kedaulatan yang didasarkan pada
hukum ini adalah suatu reaksi atas prinsip ajaran kedaulatan Negara.Menurut
teori kedaulatan Negara, segala sesuatu dijalankan dalam setiap kebijaksanaan
Negara, karena Negara diberi kekuasaan yang tidak terbatas. Para penganut paham
ini beranggapan bahwa hukum tidak lain dari kemauan Negara itu sendiri yang
dikonkretkan. Dalam perkembangan selanjutnya para ahli menganggap bahwa paham
kedaulatan Negara tidak sesuai dengan kenyataan.Akhirnya mereka berpaling ke
supremasi hukum sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.Aliran ini lebih
memperhatikan realitas dengan menyataan-kenyataan sejarah.Bahkan lebih ekstrim
lagi kita melihat prinsip Negara dan hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
yang mengatakan bahwa pada hakekatnya Negara adalah identik dengan hukum,
karena itu tertib hukum tidak ada bedanya dengan tertib Negara.
Pandangan
Hans Kelsen di atas adalah yang paling ekstrim dari pengikut paham kedaulatan
hukum. Bahkan beranggapan bahwa Negara semata-mata konstruksi hukum belaka,
karena itu beliau mendapat kritikan-kritikan yang tidak henti-hentinya dari
ahli-ahli lain. Teristimewa dari sosiolog-sosiolog, karena ia dianggap anti
sosiologi. Hans Kelsen dianggap meremehkan peranan dan manfaat sosiologi di
dalam penelaahannya mengenai Negara.Memang disadari bahwa Negara bukanlah
semata-mata menjadi objek hukum sendiri atau Negara tidak mutlah identik dengan
hukum sebagaimana pendapat Kelsen itu. Tapi selain ilmu hukum, masih banyak
lagi disiplin ilmu lain yang menjadikan Negara sebagai objek pembahasan. Hal
ini dapat kita lihat pada beberapa disiplin ilmu, seperti ilmu politik, ilmu
pemerintahan, sosiologi serta ilmu lainnya. Selanjutnya, meskipun ide tentang
Negara hukum telah lama diungkapkan oleh para ahli, namun dipandang dari segi
penggunaan istilah “Negara hukum”, istilah tersebut sebenarnya baru mulai
tampil ke muka dalam abad kesembilan belas sebagaimana yang dikembang oleh A.V
Dicey dengan konsep Negara hukum Rule of Law di Negara Anglo Saxon, dan
Frederich Julius Stahl dengan konsep Negara hukum Rectsstaats di Negara Eropa
Continental.