Gagasan
tentang negara hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli baik oleh Plato,
Aristoteles, John Lock, Montesque dan sebagainya masih bersifat samar-samar dan
tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih
eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan munculnya konsep Rechsstaat yang dikembangkan oleh Frederich Julius Stahl di Eropa
Contiental yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl,
unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat)
adalah:
1. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
menjamin hak-hak itu;
3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan; dan
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Pada
saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule of Law) yang dikembangkan oleh A.V
Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum Anglo-Saxon.Dicey mengemukakan
unsur-unsur Rule of Law sebagai
berikut.
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak
adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence
of arbitrary power);
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini
berlaku baik untuk orang biasa maupun orang pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang
(di negara lain oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Lebih
lanjut H. Abdul Latief mengemukakan bahwa Negara hukum pada prinsipnya
mengandung unsur-unsur:
1. Pemerintahan dilakukan berdasarkan
undang-undang (asas legalitas) dimana kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah
hanya semata-mata ditentukan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang;
2. Dalam Negara itu hak-hak dasar manusia diakui
dan dihormati oleh penguasa yang bersangkutan;
3. Kekuasaan pemerintah dalam Negara itu tidak
dipusatkan dalam satu tangan, tetapi harus diberi kepada lembaga-lembaga
kenegaraan di mana yang satu melakukan pengawasan terhadap yang lain sehingga
tercipta suatu keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga kenegaraan
tersebut;
4. Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh
aparatur kekuasaan pemerintah dimungkinkan untuk dapat diajukan kepada
pengadilan yang tidak memihak yang diberi wewenang menilai apakah perbuatan
pemerintahan tersebut bersifat melawan hukum atau tidak.
Munculnya
“unsur peradilan administrasi dalam perselisihan” pada konsep rechtsstaatmenunjukan adanya hubungan
historis antara negara hukum Eropa Kontinental dengan hukum Romawi. Philipus M.
Hadjon menberikan pendapat berikut ini:
“Konsep rechsstaat
bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “Civil Law” atau ”Modern
Roman Law”, sedangkan konsep Rule Of Law bertumpu atas sistem hukum yang
disebut “Common Law”.
Karakteristik
civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah
judicial.Perbedaan Karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang
daripada kekuasaan raja. Pada Zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja
ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasi
kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan
tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengkata. Begitu besarnya
peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem
continental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit
administraf “ dan inti dari “droit administraf“ adalah hubungan antara
administrasi dengan rakyat, di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk
membatasi kekuasaan administrasi negara (hukum administrasi dan peradilan
administrasi).”
Dalam
perkembangannya konsep negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan,
yang secara umum dapat dilihat di antaranya:”
1. Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas
kedaulatan rakyat;
2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan;
3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
(warga negara);
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan
(rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan
tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh
eksekutif;
6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota
masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan
pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin
pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Perumusan
unsur-unsur negara hukum ini tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik
yang melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualisme, yang
menempatkan individu atau warga negara sebagai primus interpares dalam
kehidupan bernegara. Oleh karena itu, unsur pembatasan kekuasaan Negara untuk
melindungi hak-hak individu menempati posisi yang signifikan. Semangat
membatasi kekuasaan Negara ini semakin kental segera setelah lahirnya adagium
yang begitu popular dari Lord Acton, yaitu “Power tends to corrupt, but
absolute power corrupt absolutely”; (Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung
untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas
(absolute) pasti akan disalahgunakan). Model Negara hukum seperti ini
berdasarkan catatan sejarah dikenal dengan sebutan demokrasi konstitusional,
dengan ciri bahwa pemerintah yang demoktratis adalah pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga
negaranya. Pembatasan-pembatasan sering disebut “pemerintah berdasarkan
kontitusi” (constitutional government).Meskipun tidak semua Negara yang
memiliki konstitusi diilhami oleh semangat individualisme, semangat untuk
melindungi kepentingan individu melalui konstitusi dianggap paling
memungkinkan, terlepas dari falsafah Negara yang bersangkutan. Dengan kata
lain, esensi dari Negara berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia. Atas dasar itu, keberadaan konstitusi dalam suatu Negara
merupakan condition sine quanon.
Menurut
Sri Soemantri, tidak ada suatu negarapun di dunia ini yang tidak mempunyai
konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Bila Negara hukum
diidentikkan dengan keberadaan konstitusi dalam suatu Negara, maka benar apa
yang dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang mengatakan bahwa dalam abad ke
20 ini hampir tidak ada suatu Negara pun yang menganggap sebagai Negara modern
tanpa menyebutkan dirinya “Negara berdasar atas hukum”. Dengan demikian, dalam
batas-batas minimal, negara hukum identik dengan Negara yang berkonstitusi atau
Negara yang menjadikan konstitusi sebagai aturan main kehidupan kenegaraan,
pemerintahan, dan kemasyarakatan.
Hal
yang sama juga dikatakan oleh Burkens, et.al mengemukakan bahwa pengertian
Rechtsstaat sebagaimana dikutif A. Hamid S. Attamimi yaitu Negara yang
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan dan penyelenggaraan kekuasaan
tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dari
pandangan tersebut, mengandung arti bahwa kekuasaan pemerintahan dalam suatu
Negara bersumber pada hukum dan sebaliknya untuk melaksanakan hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan suatu Negara harus berdasarkan kekuasaan hukum.Telah disebutkan
bahwa pada dataran implementasi Negara hukum itu memiliki karakteristik dan
model yang beragam. Terlepas dari berbagai model Negara hukum tersebut, Budiono
mencatat bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara
bertahap menuju ke arah kesimpulan, yaitu Negara merupakan Negara yang akan
mewujudkan harapan para warga Negara akan kehidupan yang tertib, adil, dan
sejahtera jika Negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan
main.
No comments:
Post a Comment