ASSALAMUALAIKUM WR. WB, Selamat datang di purnama-blog, semoga dapat memberi inspirasi dan bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca, Aamiin !!!

Monday, March 26, 2018

Konsep Massive Open Online Courses (MOOCs)


Massive Open Online Courses (MOOCs) menjadi sesuatu yang dibicarakan masyarakat dunia belakangan ini. MOOCs merupakan cara belajar-mengajar baru yang terpusat pada peserta didik dan menggunakan teknologi dengan jangkauan tak terbatas, melewati batas ruang kelas, sekolah, kampus, dan bahkan negara, memungkinkan pembelajar untuk dapat memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan secara gratis dan bahkan diajarkan oleh guru besar dari perguruan tinggi ternama dunia. MOOCs sendiri merupakan salah satu pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered), dimana seperti yang telah berbagai penelitian lakukan bahwasanya pembelajaran yang berpusat pada siswa memiliki berbagai keunggulan. Kelebihan tersebut antara lain pembelajar dapat lebih aktif di dalam mengkonstruksi pengetahuannya, dapat lebih berpikir kritis dan analitis, dapat mengembangkan kemampuan problem solving dan sebagainya.

Pada intinya penyelenggara MOOCs mendapatkan pendapatan dari sertifikasi peserta yang telah menyelesaikan dan lulus suatu mata kuliah daring tersebut. MOOCs memungkinkan peminat “membeli eceran” mata kuliah, perguruan tinggi, dan profesor pengampu mata kuliah. Dengan demikian, MOOCs memperkuat kedudukan “pembeli” sehingga mengubah “pasar” pendidikan tinggi dari “pasar penyedia” menjadi “pasar pembeli”. Bila sekarang kurikulum program studi dirancang oleh perguruan tinggi, pada masa depan bisa jadi “pembeli” yang akan menentukan mata kuliah yang ingin diikutinya di universitas. Dengan kata lain, mereka akan membangun kurikulum pribadi yang tentunya akan sangat beragam.

Perubahan kurikulum sebenarnya telah didahului oleh perubahan dalam metode pembelajaran. Dengan adanya MOOCs maka nantinya kita kan familiar dengan istilah kurikulum pribadi yang mana penentuan isi kurikulum tersebut yang menentukan siswa itu sendiri. Bahkan, kini, guru dan dosen tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu dan pengetahuan, yang maha tahu. Ke depan, kepentingan siswa yang seharusnya menjadi pusat perhatian dan menentukan metode pengajaran yang mana didukung dengan adanya MOOCs tersebut. MOOCs memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan yang diinginkannya dari berbagai sumber. Ini berdampak pada keragaman dalam kurikulum, yang pada gilirannya ditentukan oleh siswa untuk memilih pengetahuan dan keterampilan apa yang diinginkannya, dan dari mana ia memperolehnya.
Read More..

Pembelajaran Di Era Disrupsi


Era disrupsi memberi dampak yang cukup luas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tuntutan dalam penyelenggaraan pembelajaran. Salah satu tantangan nyata tersebut adalah bahwa pendidikan hendaknya mampu menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi utuh dan dengan cara belajar-mengajar baru yang terpusat pada peserta didik dan menggunakan teknologi dengan jangkauan tak terbatas, melewati batas ruang kelas, lingkungan industri, dan bahkan belajar dari negara lain, yang memungkinkan peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara gratis. Kompetensi era disrupsi merupakan kompetensi utama yang harus dimiliki siswa agar mampu berkiprah dalam kehidupan nyata pada masa mendatang. Pembelajaran yang mendukung menjadi semakin penting untuk menjamin peserta didik memiliki keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media informasi yang dibutuhkan di dunia usaha dan dunia industri. Berdasarkan Litbang Kemendikbud 2013, abad yang akan datang ditandai dengan banyaknya,1) Informasi yang tersedia dimana saja dan dapat diakses kapan saja, 2) Komputasi yang semakin cepat, 3) Otomasi yang menggantikan pekerjaan-pekerjaan rutin; dan 4) Komunikasi yang dapat dilakukan dari mana saja dan kemana saja. Oleh karena itu menghadapi hal tersebut, model pembelajaran era disruption diklasifikasikan sebagai berikut:

a.      Instruction should be student-centered (Information)

Pengembangan pembelajaran sebaiknya menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subjek pembelajaran yang secara aktif mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya. Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang diberikan guru, tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di masyarakat.

b.      Learning should have context, not komputasi

Materi pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real word), dan pembelajaran era disrupsi diarahkan pada merumuskan masalah yang ada bukan hanya menjawab masalah. Guru membantu siswa agar dapat menemukan nilai, makna dan keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Guru melakukan penilaian kinerja siswa yang dikaitkan dengan dunia nyata.

c.       Schools should be integrated with society not Otomasi

Dalam upaya mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang bertanggung jawab, pembelajaran sebaiknya dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, dimana siswa dapat belajar mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan social dan dapat melakukan pekerjaan spesialis tidak lagi pekerjaan- pekerjaan rutin. Pembelajaran diarahkan untuk melatih berfikir analitis (pengambilan keputusan) bukan berfikir mekanistis (rutin)

d.      Education should be collaborative and Communication

Siswa harus diajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan orang-orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, siswa perlu diajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat dengan mereka.

Guru sebagai fasilitator siswa dalam pembelajaran merupakan hal penting yang diharuskan. Sebab pembelajaran era disrupsi ini didefinisikan sebagai proses belajar yang dibangun untuk mengembangkan kreativitas berfikir yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya untuk meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya guru untuk memberikan stimulus, bimbingan, pengarahan dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar. Pembelajaran dalam definisi ini bukanlah sebuah proses pembelajaran pengetahuan, melainkan proses pembentukan pengetahuan oleh siswa melalui kinerja kognitifnya. Pembelajaran mengandung dua karakteristik utama yaitu: (1) proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal yang menghendaki aktivitas siswa untuk berfikir dan (2) pembelajaran diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa yang pada gilirannya kegiatan berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. Pembelajaran bukan hanya dilakukan sebagai transfer pengetahuan melainkan kegiatan yang harus dilakukan siswa secara aktif dalam upaya membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya (Abidin, 2014:1). Pada masa disrupsi, pembelajaran seolah-olah semuanya tergantung pada teknologi informasi dan komputasi, namun ada beberapa hal pada pembelajaran yang dapat dilaksanakan tanpa menggunakan teknologi tersebut. Meskipun teknologi informasi dan komunikasi adalah katalis penting untuk memindahkan pembelajaran dari pencarian informasi dimana saja dan kapan saja ke penyerapan pengetahuan namun hal tersebut merupakan alat bukan penentu hasil dalam proses pembelajaran.
Read More..

Kurikulum dan Arah Pendidikan Kejuruan Pada Abad 21 di era disruption


Permasalahan-permasalahan global makin kompleks. Persaingan dunia kerja pun makin kompetitif. Eksploitasi alam, pemanasan global, krisis perekonomian dan kemiskinan adalah hal yang harus diselesaikan di masa yang akan datang. Permasalahan ini tentunya dapat diselesaikan dengan membekali setiap warga negara dengan pendidikan yang bermanfaat di abad ke-21. Twenty-first century skills adalah keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan di masa akan datang.

Kebutuhan untuk menguasai 21st century skills, membuat banyak negara di seluruh dunia telah melakukan reformasi pada kurikulum, pengajaran, dan penilaian dengan tujuan yang lebih baik mempersiapkan semua anak untuk kebutuhan pendidikan yang lebih tinggi dari kehidupan dan pekerjaan di abad ke-21 (Darling-Hammond, L. 2012:301). Australia, Finlandia dan Singapura adalah contoh dari beberapa negara yang telah mengembangkan kurikulum yang mengintegrasikan 21st century skills.

Australian Curriculum, Assessment and Reporting Authority (ACARA) yang merupakan lembaga yang mengelola kurikulum di Australia secara nasional telah membuat kebijakan kurikulum untuk mengintegrasikan 21st century skills. Pada kurikulum nasional Australia ACARA telah mengatur adanya 10 kemampuan yang harus ditangani secara nasional yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan abad 21. Kemampuan tersebut adalah literasi Berhitung, literasi informasi dan literasi ICT, keterampilan berpikir, kreatifitas, manajemen diri, kerja dalam tim, pemahaman antar budaya, etika perilaku, and kompetensi sosial (ACARA. 2012: 15)

Finlandia merupakan negara yang paling maju dalam bidang pendidikan apalagi selalu menduduki peringkat pertama pada Programme for International Student Assessment (PISA) selama satu dekade terakhir ini. Dengan memperbaiki sistem pendidikan dimulai dari guru-guru yang sangat bermutu dan juga dengan menerapkan sistem assessment yang sangat kompleks yang meliputi keterampilan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan menulis (Darling-Hammond, L. 2012:323). Kurikulum inti nasional Finlandia adalah dokumen yang jauh lebih ramping, tidak lebih dari ratusan halaman yang menjelaskan secara terperinci (misalnya saja, standar penilaian matematika untuk semua nilai dijelaskan sekitar sepuluh halaman). Kurikulum inti ini menjadi panduan guru dalam mengembangkan kurikulum lokal secara kolektif dan penilaian yang mendorong peserta didik untuk menjadi peserta didik yang aktif yang dapat menemukan dan menganalisis (Darling-Hammond, L. 2012:324).

Singapura mempunyai kebijakan lain untuk mengintegrasikan 21st century skills yaitu dengan program project work dan Knowledge and inquiry (Darling-Hammond, L. 2012:329). Project work adalah subjek interdisipliner yang wajib untuk semua peserta didik pra universitas. Ada waktu kurikulum khusus bagi peserta didik untuk melaksanakan tugas-tugas proyek mereka selama periode yang diperpanjang. Sebagai subjek interdisipliner, dibentuk dari pengetahuan dan keterampilan untuk fokus pada hasil interdisipliner dengan mewajibkan peserta didik untuk menggambarkan pengetahuannya dan menerapkan keterampilan dari seluruh domain subjek yang berbeda (Darling-Hammond, L. 2012:329). Tujuan proyek ini adalah memberikan pengalaman langsung pada peserta didik dan juga menjadi evaluasi bagi pemerintahan Singapura. Knowledge and inquiry merupakan program yang dikembangkan oleh pemerintah Singapura untuk membangun Pemahaman tentang alam dan konstruksi pengetahuan, berpikir kritis dan berkomunikasi (Darling-Hammond, L. 2012:332).

Dari contoh ketiga negara maju di atas tampak bahwa arah pendidikan pada abad ke-21 lebih mengutamakan keterampilan yang lebih aplikatif dan berguna di masa depan. Pendidikan di masa akan datang juga mengutamakan nilai-nilai untuk berinteraksi secara global, bekerja dalam tim dan berkomunikasi. Untuk saat ini kemampuan kognitif bukan satu-satunya kemampuan yang harus dikuasai oleh peserta didik. Peserta didik perlu dibekali dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan di abad ke-21. Salah satu peran utama pendidikan adalah untuk mempersiapkan para pekerja di masa depan dan warga negara untuk menghadapi tantangan zaman mereka. Pendidikan menjadi kunci untuk kelangsungan hidup ekonomi di abad ke-21.
Read More..

Ketrampilan Abad 21 di era Disruption

Keterampilan abad 21 meliputi (1) life and career skills, (2) learning and innovation skills, dan (3) Information media and technology skills. Ketiga keterampilan tersebut dirangkum dalam sebuah skema yang disebut dengan pelangi keterampilan-pengetahuan abad 21/21st century knowledge-skills rainbow (Trilling dan Fadel, 2009). Skema tersebut diadaptasi oleh organisasi nirlaba P21 yang mengembangkan kerangka kerja (framework) pendidikan abad 21 ke seluruh dunia. Skema ini menyajikan pandangan menyeluruh tentang keterampilan dan pengetahuan peserta didik abad ke-21.
a.       Life and Career Skills
Menurut Eric Hoffer kita berada dalam masa perubahan besar, Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi merupakan keterampilan yang penting untuk belajar, bekerja, dan kewarganegaraan. Laju perubahan teknologi memaksa kita semua untuk beradaptasi cepat untuk cara-cara baru berkomunikasi, belajar, bekerja, dan hidup. Peralihan pekerjaan dan karier lebih sering, dan seluruhnya jenis pekerjaan baru yang timbul dari inovasi di berbagai bidang.
Life and Career skills (keterampilan hidup dan berkarier), meliputi:
1)   Fleksibilitas dan adaptabilitas: Peserta didik memiliki kemampuan mengadaptasi perubahan dan fleksibel dalam belajar dan berkegiatan dalam kelompok
2)   Memiliki inisiatif dan dapat mengatur diri sendiri: Peserta didik memiliki kemampuan mengelola tujuan dan waktu, bekerja secara independen dan menjadi peserta didik yang dapat mengatur diri sendiri.
3)   Interaksi sosial dan antar-budaya: Peserta didik memiliki kemampuan berinteraksi dan bekerja secara efektif dengan kelompok yang beragam.
4)   Produktivitas dan akuntabilitas: Peserta didik mampu mengelola proyek dan menghasilkan produk.
5)   Kepemimpinan dan tanggungjawab: Peserta didik mampu memimpin teman-temannya dan bertanggungjawab kepada masyarakat luas.
b.      Learning and Innovation Skills
Kebutuhan pengetahuan pekerja untuk membuat dan inovasi baru terhadap produk dan layanan yang memecahkan masalah nyata dan memenuhi kebutuhan pelanggan nyata adalah kekuatan pendorong utama untuk pertumbuhan ekonomi dan bekerja di abad ke-21. Learning and innovation skills (keterampilan belajar dan berinovasi) meliputi:
1)   Berpikir kritis dan mengatasi masalah: peserta didik mampu menggunakan berbagai alasan (reason) seperti induktif atau deduktif untuk berbagai situasi; menggunakan cara berpikir sistem; membuat keputusan dan mengatasi masalah
2)   Komunikasi dan kolaborasi: peserta didik mampu berkomunikasi dengan jelas dan melakukan kolaborasi dengan anggota kelompok lainnya.
3)   Kreativitas dan inovasi: peserta didik mampu berpikir kreatif, bekerja secara kreatif
c.       Information Media and Technology Skills
Keterampilan teknologi dan media informasi (Information media and technology skills), meliputi:
1)   Literasi informasi: peserta didik mampu mengakses informasi secara efektif (sumber informasi) dan efisien (waktunya); mengevaluasi informasi yang akan digunakan secara kritis dan kompeten; menggunakan dan mengelola informasi secara akurat dan efektif untuk mengatasi masalah.
2)   Literasi media: peserta didik mampu memilih dan mengembangkan media yang digunakan untuk berkomunikasi.
3) Literasi ICT: peserta didik mampu menganalisis media informasi; dan menciptakan media yang sesuai untuk melakukan komunikasi

Read More..

Sunday, March 4, 2018

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN VOKASI

Dalam pengemebangan kurikulum pendidikan vokasi mata pelajaran/mata kuliah wajib umum yakni Pancasila, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan dan Agama, harus diajarkan kepada peserta didik dengan memberikan muatan yang mampu menanamkan karakter unggul untuk mendukung daya saing bangsa.  Kemampuan penerapan etika industri diajarkan sebagai bagian pendidikan secara umum (general education) untuk memberikan dasar dan pemahaman tentang kedisiplinan, kualitas kerja profesional, berkomunikasi dan berinteraksi dalam lingkungan kerja juga pemahaman etika profesi dan tahapan kerja serta keselamatan kerja di industri.
Pendidikan vokasi memiliki ciri atau kekhasan dan mengutamakan dalam menerapkan aspek-aspek praktis yang didukung oleh teori yang tepat. Hal ini untuk membedakan terhadap pendidikan akademis yang lebih mengutamakan capaian teoritis didukung aspek praktis. Ketepatan komposisi antara praktek dan teori pendukung menjadi kunci keberhasilan penyelenggaraan proses pendidikan pada pendidikan vokasi. Komposisi praktek lebih dominan dari pada teori menjadi ciri khas pendidikan vokasi.

          Ciri khas pendidikan tinggi vokasi memberikan kemampuan aplikatif dan kemampuan inovatif. Pada titik puncaknya, baik pendidikan tinggi vokasi, profesi dan pendidikan akademik memiliki derajad yang sama namun memiliki domain dan peran yang berbeda untuk saling berkomplementer.  Jenjang pendidikan vokasi pada program pendidikan Diploma1 (D1), Diploma 2 (D2), Diploma 3 (D3) dan Diploma 4 (D4) merupakan program terminasi sebagai satu program utuh, setiap jenjang diploma akan menghasilkan keahlian atau kompetensi sesuai dengan level pada KKNI. Sedangkan jenjang pendidikan vokasi S2 terapan dan S3 terapan merupakan jenjang pendidikan setelah lulus Diploma4 atau sarjana  (S1) terapan.


Daftar Pustaka:
Ristekdikti. (2016). Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Vokasi. Jakarta: Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.


Read More..

KARAKTERISTIK KURIKULUM PENDIDIKAN VOKASI


Pendidikan vokasi merupakan sistem yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan secara menyeluruh. Meskipun demikian, kurikulum pendidikan vokasi memiliki karakteristik dan kekhususan tersendiri yang membedakannya dengan sub sistem pendidikan yang lain. Perbedaan ini tidak hanya dalam definisi, struktur organisasi, dan tujuan pendidikannya saja, tetapi terlihat dari aspek lainnya yang berkaitan dengan aspek perencanaan kurikulum. Karakteristik – karakteristik dasar dari kurikulum pendidikan teknologi dan kejuruan yaitu:

1.        Orientasi

Keberhasilan utama dari kurikulum pendidikan vokasi, bukan saja diukur dari pencapaian hasil belajar berupa kelulusan, tetapi pada kemampuan para lulusan kelak di dunia kerja. Asumsi tersebut dilandasi oleh pemikiran bahwa sifat pendidikan vokasi yang merupakan pendidikan untuk penyiapan tenaga kerja, maka dengan sendirinya orientasi pendidikan vokasi tertuju pada output atau lulusan.

2.        Justifikasi

Kurikulum pendidikan vokasi didasarkan pada identifikasi kebutuhan berbagai jenis pekerjaan yang ada di lapangan. Inilah yang menjadi alasan mengapa pendidikan vokasi perlu ”diselenggarakan”. Justifikasi/alasan keberadaan pendidikan vokasi didasari oleh asumsi adanya kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Oleh karena itu, yang dimaksud justifikasi di sini adalah justifikasi untuk eksistensi. Pendidikan vokasi ”tidak layak ada” jika di lapangan tidak dibutuhkan tenaga kerja yang akan dididik di sekolah tersebut.

3.        Fokus

Fokus kurikulum pendidikan vokasi tidak hanya pada aspek skill/psikomotorik seperti yang dipahami sebagian masyarakat, akan tetapi kurikulum  membantu siswa untuk  mengembangkan diri dalam seluruh aspek yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang tujuan akhirnya untuk memberikan kontribusi untuk keberhasilan sebagai ”pekerja” atau dengan kata lain siswa dididik untuk memiliki kemampuan yang komprehensif dan simultan sehingga mampu menjadi pekerja yang ”produktif”.

4.        Kriteria keberhasilan di sekolah dan luar sekolah (dual criteria)

Berlainan dengan pendidikan umum, kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu lembaga pendidikan vokasi pada dasarnya menerapkan ukuran ganda, yaitu keberhasilan siswa di sekolah (in-school success) dan keberhasilan di luar sekolah (out-of-school success). Kriteria yang pertama meliputi aspek keberhasilan siswa dalam menempuh proses pembelajaran di kelas, sedang kriteria keberhasilan yang kedua diindikasikan oleh keberhasilan performance lulusan setelah berada di dunia kerja.

5.        Hubungan antara sekolah, masyarakat dan keterlibatan pemerintah

Hubungan antara sekolah dan masyarakat lebih khususnya dengan dunia industri merupakan karakteristik yang sangat penting dalam konteks pendidikan vokasi. Peran masyarakat dan pemerintah dalam hal ini sama pentingnya. Masyarakat dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan pendidikan vokasi. Perwujudan hubungan timbal balik yang menunjang ini mencakup adanya dewan penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory committee), kesediaan dunia usaha menampung siswa pendidikan vokasi dalam program kerjasama yang memungkinkan kesempatan pengalaman lapangan, informasi kecenderungan ketenagakerjaan yang selalu dijabarkan ke dalam perencanaan dan implementasi program pendidikan.

6.        Kepekaan

Kurikulum pendidikan vokasi memiliki karakteristik lain yaitu kepekaan atau daya suai yang tinggi terhadap perkembangan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya, hal ini dimungkinkan karena komitmen pendidikan vokasi yang tinggi untuk selalu berorientasi kepada dunia kerja. Perkembangan ilmu dan teknologi, pasang surutnya suatu bidang pekerjaan, inovasi dan penemuan-penemuan terbaru dalam bidang produksi dan jasa, semuanya itu sangat besar pengaruhnya terhadap kecenderungan pendidikan vokasi. Tidak terkecuali adalah mobilitas kerja baik vertikal maupun horisontal sebagai akibat perkembangan sosial kemasyarakatan yang semuanya harus diantisipasi secara cermat guna menjamin relevansi yang tinggi antara isi pendidikan vokasi dan kebutuhan dunia kerja.

7.        Sarana prasarana dan pembiayaan
            Dalam implementasi kurikulum di pendidikan vokasi, ketersediaan sarana prasarana merupakan sesuatu yang sangat penting. Kelengkapan sarana prasarana akan dapat membantu mewujudkan situasi atau pengalaman belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara lebih realistis dan edukatif. Bengkel dan laboratorium adalah kelengkapan yang umum menyertai keberadaan/eksistensi pendidikan vokasi, selain pengalaman lapangan yang biasanya tercantum dalam kerangka kurikulumnya. Dalam konteks ini, sering dipertanyakan apakah investasi yang besar di pendidikan vokasi cukup efisien dibandingkan dengan hasilnya.

Daftar Pustaka:
Finch Curtis.R and Crunkilton. (1984). Curriculum Development In Vocational And Technical Education : Planning, Content, and Implementation. Sidney. Allyn and Bacon Inc

Read More..