Era disrupsi memberi
dampak yang cukup luas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tuntutan dalam
penyelenggaraan pembelajaran. Salah satu tantangan nyata tersebut adalah bahwa
pendidikan hendaknya mampu menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi utuh dan dengan cara belajar-mengajar baru yang
terpusat pada peserta didik dan menggunakan teknologi dengan jangkauan tak
terbatas, melewati batas ruang kelas, lingkungan industri, dan bahkan belajar
dari negara lain, yang memungkinkan peserta didik memperoleh pengetahuan dan
keterampilan secara gratis. Kompetensi era disrupsi
merupakan kompetensi utama yang harus dimiliki siswa agar mampu berkiprah dalam
kehidupan nyata pada masa mendatang. Pembelajaran yang mendukung
menjadi semakin penting untuk menjamin peserta didik memiliki keterampilan
belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media informasi yang dibutuhkan di dunia usaha dan dunia industri.
Berdasarkan Litbang Kemendikbud 2013, abad yang akan datang ditandai dengan
banyaknya,1) Informasi yang tersedia dimana saja dan dapat
diakses kapan saja, 2) Komputasi yang semakin cepat, 3) Otomasi yang
menggantikan pekerjaan-pekerjaan rutin; dan 4) Komunikasi yang dapat dilakukan
dari mana saja dan kemana saja. Oleh karena itu menghadapi hal tersebut, model
pembelajaran era disruption diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Instruction
should be student-centered (Information)
Pengembangan pembelajaran sebaiknya menggunakan
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai
subjek pembelajaran yang secara aktif mengembangkan minat dan potensi yang
dimilikinya. Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi
pelajaran yang diberikan guru, tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan
keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya,
sambil diajak berkontribusi untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi
di masyarakat.
b. Learning should have context, not
komputasi
Materi
pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru mengembangkan
metode pembelajaran yang memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real word), dan pembelajaran era
disrupsi diarahkan pada merumuskan masalah yang ada bukan hanya menjawab
masalah. Guru membantu siswa agar dapat menemukan nilai, makna dan keyakinan
atas apa yang sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-harinya. Guru melakukan penilaian kinerja siswa yang dikaitkan dengan
dunia nyata.
c. Schools should be integrated with
society not Otomasi
Dalam
upaya mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang bertanggung jawab,
pembelajaran sebaiknya dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam
lingkungan sosialnya. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat,
dimana siswa dapat belajar mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu
dalam lingkungan social dan dapat melakukan pekerjaan spesialis tidak lagi
pekerjaan- pekerjaan rutin. Pembelajaran diarahkan untuk melatih berfikir
analitis (pengambilan keputusan) bukan berfikir mekanistis (rutin)
d. Education should be collaborative and
Communication
Siswa
harus diajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi
dengan orang-orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang
dianutnya. Dalam menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu didorong
untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di kelasnya. Dalam mengerjakan
suatu proyek, siswa perlu diajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta
setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat
dengan mereka.
Guru sebagai fasilitator siswa dalam
pembelajaran merupakan hal penting yang diharuskan. Sebab pembelajaran era disrupsi
ini didefinisikan sebagai proses belajar yang dibangun untuk mengembangkan
kreativitas berfikir yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya untuk meningkatkan penguasaan
yang baik terhadap materi pelajaran. Pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya
guru untuk memberikan stimulus, bimbingan, pengarahan dan dorongan kepada siswa
agar terjadi proses belajar. Pembelajaran dalam definisi ini bukanlah sebuah
proses pembelajaran pengetahuan, melainkan proses pembentukan pengetahuan oleh
siswa melalui kinerja kognitifnya. Pembelajaran mengandung dua karakteristik
utama yaitu: (1) proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara
maksimal yang menghendaki aktivitas siswa untuk berfikir dan (2) pembelajaran
diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa yang pada
gilirannya kegiatan berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh
pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. Pembelajaran bukan hanya dilakukan
sebagai transfer pengetahuan melainkan kegiatan yang harus dilakukan siswa
secara aktif dalam upaya membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan potensi
yang dimilikinya (Abidin, 2014:1). Pada masa disrupsi, pembelajaran seolah-olah
semuanya tergantung pada teknologi informasi dan komputasi, namun ada beberapa
hal pada pembelajaran yang dapat dilaksanakan tanpa menggunakan teknologi tersebut.
Meskipun teknologi informasi dan komunikasi adalah katalis penting untuk
memindahkan pembelajaran dari pencarian informasi dimana saja dan kapan saja
ke penyerapan pengetahuan namun hal tersebut merupakan alat bukan
penentu hasil dalam proses pembelajaran.
No comments:
Post a Comment