Immanuel Kant
(1724-1804) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan
disiplin
ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas
dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara
tepat, maka semenjak itu
pula refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia
menjadi menarik perhatian. Lahirlah di abad ke-18 cabang filsafat yang disebut
sebagai Filsafat Pengetahuan (Theori
of Knowledge, Erkennistlehre, Kennesleer atau Epistemologi)
di mana logika, filsafat bahasa, matematika,
metodologi, merupakan komponen-komponen pendukungnya.
Dengan
mendasarkan diri atas sumber-sumber atau sarana tertentu seperti panca-indera,
akal (Venstand),
akal-budi (Vernunft) dan intuisi,
berkembanglah berbagai macam school of thought, yaitu empirisme
(John Locke), rasionalisme
(Descartes), kritisis- me (Immanuel Kant), positifisme
(Auguste Comte), fenomenologi
(Husserl), konstniktivisme (Feyerabend),
dan lain-lainnya yang muncul sebagai upaya pembaharuan.
Di dalam sejarah
kita mengenal tiga macam epistemologi, yaitu Pertama dengan secara sadar dan
berkelanjutan orang menempuh cara untuk menguasai serta merobah objek, melalui
upaya-upaya konkret dan secara langsung menuju ke arah kemajuan (progress,
Improvement) atau pun pernbaharuan.
Kedua, dengan cara mengasingkan diri secara fisik maupun rohani, sebagaimana
nenek moyang kita dahulu secara praksis rnelakukannya. Ketiga, dengan membungkus objek yang dijadikan
sasaran, yaitu dengan memperindahnya
ke dalam suatu ideal. Wujud daripadanya adalah nilai-nilai seni, sastra,
mitologik yang bermuatan etik, moral ataupun agama.
Karena
pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a
higher level of knowledge maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan
pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat
menempatkan objek sasarannya: ilmu (pengetahuan).
Ontologi ilmu
meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren
dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang
apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham
monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dualisme,
pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada
akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing‑masing mengenai apa
dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Aksologi ilmu
meliputi nilai‑nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna
terhadap kebenaran atau kenyataan dalam kehidupan yang menjelajahi berbagai
kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik‑material.
Lebih dari itu nilai‑nilai ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio
sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan, baik dalam melakukan
penelitian maupun dalam menerapkan ilmu.
Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga
mengarahkan pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik
dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap
tidak saja kegunaan dan manfaat ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi
kehidupan.
No comments:
Post a Comment